Lukisan foto Dr. Oen Boen Ing Dharmohoesodo |
Oen Boen Ing Darmohadikusumo atau lebih dikenal dengan dr Oen, beliau tidak mau dipanggil Dokter keturunan pribumi asli dan juga keturunan tionghoa. Lahir di Salatiga 3 Maret 1903 dari pengusaha tembakau yang cukup kaya dan sukses, kemudian menikah dengan Djien Oen Nio di tahun 1933. Meninggal 30 Oktober 1982 pukul 08.30 dalam umur 80 tahun. Beliau tinggal di sebuah rumah bergaya kolonial di Jalan S. Parman nomor 48 Kelurahan Kestalan Banjarsari Solo, yang sekaligus tempat praktek dr Oen. Dr Oen Boen Ing dilahirkan dalam sebuah keluarga pedagang tembakau yang kaya-raya, cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Karena pengaruh kakeknya itulah, beliau kemudian dikenal sebagai dokter yang banyak membantu pasiennya. Setelah lulus sekolah menengah, Oen sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran model Barat dan menjadi dokter. Akan tetapi, keinginannya ditentang keras keluarganya yang tidak ingin ia menjadi kaya dari penderitaan orang yang sakit. Meskipun demikian, beliau tetap bertekad mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter dan mendaftarkan diri di School Tot Opleding Van Inlandsche Van Arsten atau STOVIA di Batavia / Jakarta dan lulus pada tahun 1932.
Latar belakang dan keluarga
Oen Boen Ing merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan Oen Hwie An, merupakan pedagang tembakau yang terkemuka di Salatiga, Jawa Tengah dan Tan Tjiet Nio. Ayahnya memiliki aset mulai dari Salatiga hingga Wonosobo, yang terdiri dari berbagai perkebunan dan pengeringan tembakau. Beliau juga merupakan cucu seorang sinshe Tionghoa yang juga suka menolong banyak orang. Saudara-saudara Boen Ing yang lain bernama Oen Djien Nio, Oen Kwat Nio, Oen Boen Gee, Oen Pien Nio, Oen Boen Dwan, Oen Boen Gay dan Oen Boen Tien. Karena pengaruh kakeknya itulah, ia kemudian dikenal sebagai dokter yang banyak membantu pasiennya, khususnya mereka yang tidak mampu membayar biaya dan ongkos membeli obat-obatan.
Pada tanggal 16 November 1934, dr. Oen menikahi Corrie Djie Nio. Mereka pertama kali bertemu di Kota Kediri. Corrie merupakan putri dari Djie Thay Hien, seorang konglomerat Tionghoa terkemuka yang pernah ditunjuk Belanda sebagai Kapiten dan Mayor Tionghoa di Kediri, dan Han Wat Nio. Setelah 6 tahun merantau di Kediri, Oen kemudian memutuskan hijrah dan membuka praktik sebagai dokter swasta di Solo bersama istrinya.
Baca Juga : PENGABDIAN DOKTER-DOKTER TIONGHOA DI LOMBOK
TENTANG ISTILAH LOMBOK & SELAPARANG
Pendidikan
Boen Ing merupakan lulusan dari HCS Salatiga, meneruskan ke MULO Semarang, dan kemudian melanjutkan ke AMS Yogyakarta. Boen Ing saat itu masih berumur 19 tahun ketika lulus dari AMS, umur yang tergolong belia untuk seorang lulusan AMS karena biasanya yang lulus dari AMS biasanya sudah berusia 20-21 tahun. Hal itu dikarenakan siswa AMS wajib mengikuti kursus Bahasa Belanda terlebih dulu selama 1-2 tahun.
Foto Dr. Oen di dalam ruang praktek sekaligus kediaman pribadi. Foto : KITLV.nl |
Sejak lulus sekolah menengah, Boen Ing sudah ingin mempelajari ilmu kedokteran Barat dan menjadi dokter. Namun, keinginannya ditentang keras oleh keluarga besarnya yang tidak ingin ia menjadi kaya dari penderitaan orang yang sakit, termasuk kakeknya sendiri menentangnya yang selama ini menjadi sumber inspirasinya. Kemudian, Boen Ing pun telah diproyeksikan sang ayah untuk meneruskan bisnis keluarga tersebut. Meskipun demikian, ia tetap bertekad mewujudkan cita-citanya untuk menjadi dokter, profesi yang saat itu belum banyak digeluti oleh orang Tionghoa. Dan baginya, profesi sebagai dokter dianggap mampu menyediakan posisi yang pasti ketimbang berdagang. Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendaftarkan diri di School tot Opleiding van Inlandsche Arsten (STOVIA) di Batavia. Singkat kata, Boen Ing pun berangkat ke Jakarta (saat itu masih bernama Batavia) tanpa restu penuh dari kedua orangtuanya. Oen Boen Ing lulus pada tahun 1932. Nilai-nilai pelajarannya pun tergolong sangat memuaskan.
Sepak Terjang dr Oen Sebagai dokter Sosiawan
Praktek pertama kalinya dibuka di Kediri 1932-1933 dan akhir tahun 1933 kembali ke Solo dan menjadi dokter swasta. Dan tahun 1977 beliau kembali pulang ke Salatiga, dibalik semua itu hingga akhir hayat dr Oen tidak dikaruniai anak karena alasan keluarga. Tahun 1935 dr Oen memimpin poliklinik swasta yang bernama “Tsi Sheng Yuan” dan tahun 1944 diangkat menjadi dokter pribadi Istana Mangkunegaran. 31 Agustus 1952 mendirikan Yayasan Balai Kesehatan Tsi Sheng Yuan, dan pada perkembangannya berhasil menciptakan Rumah Sakit Panti Kosala di Kandang sapi dengan kapasitas pertama kali 170 ruang. Dan Rumah Sakit swasta ini menjadi saksi bisu atas perjuanagn dr Oen mengabdi pada masyarakat yang kurang mampu sekalipun.
Lepas dari sepak terjang beliau, nama dr Oen pernah digunakan orang tidak bertanggung jawab untuk menarik upah dari pasien yang datang kepadanya, kejadian ini terjadi pada masa pendudukan Jepang. Kejadian tersebut bagi pasienya dengan senang hati membayarnya, karena tahu bahwa dr Oen mau dibayar, akan tetapi masyarakat heran atas peristiwa tersebut dan mengakibatkan kepala polisi seksi I bernama Domo Pranoto waktu itu menangkap penipunya yang tak lain adalah mantan pembatu dr Oen yang sempat menlihat catatan tentang pasienya. Dan saksi lain yang kebetulan bekerja di apotik “Kepunton”, mengatakan bahwa setiap hari terdapat lima resep atas nama pasien, akan tetapi pasien tidak dipungut biaya dan obatnya pun dibayar oleh dr Oen. Hal tersebut yang membuat dr Oen dimata masyarakat dikenal sebagai dokter yang mengabdi tanpa pamrih.
Dimata Sri Mangkunegoro VIII, tanggal 11 September 1975 menyatakan bahwa sejak 1944 dr Oen menjadi dokter pribadi Istana Mangkunegaran. Disana beliau memberikan pelayanan kedokteran kepada keluarga, putra sentana dalem dan pegawai keraton, dan tidak mau menerima imbalan atas jasanya. Dan karena jasa yang besar dari dr Oen kepada Sri Mangkunagoro VII dan Sri Mangkunagoro VIII dan para kerabat, maka beliau dianugerahi kehormatan sebagai Bupati Mangkunegoro dengan sebutan Kangjeng Raden Tumenggung Obi Darmohusodo, dan Obi adalah singkatan dari Oen Boen Ing.
Beliau tidak hanya berjasa bagi keluarga Mangkunegaran saja tetapi juga pada para pejuang kemerdekaan, terlihat pada perhatianya kepada pejuang Kemerdekaan yang menderita sakit atau luka pada saat melakukan perlawanan kepada Belanda. Selain itu juga terlihat sangat jelas ketika dr Oen dengan iklas memberikan obat “Penicillin” persediannya untuk keperluan pengobatan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang sedang sakit saat perang gerilya.
Rumah Sakit Panti Kosala Diusulkan Menjadi Rumah Sakit “Dokter Obi Darmohusodo”
Rumah Sakit Panti Kosala yang didirikan dr Oen merupakan saksi sejarah perjuangan beliau dan sekaligus tempat terakhir beliau disemayamkan sebelum dibawa ke rumah duka tiong-ting untuk dikremasi. Pada waktu itu datang juga Paduka Sri Mangkunegoro VIII, kakanwil depkes, IDI Surakarta dan lainya, mereka juga memberikan sambutan berdasar instansi yang mereka wakili. Setelah upacara adat kebesaran Istana Mangkunagaran di pendapa kamar mayat RS Panti Kosala, jenazah beliau dibawa menuju ke gerbang rumah sakit dan diletakan sementara di halaman dan meninggalkan rumah sakit menuju tiong-ting.
Dijalan raya sepanjang kandang sapi, perempatan panggung hingga jalan Kolonel Sutarto / lokasi tiong-ting disambut puluhan ribu masyarakat yang merasa kehilangan sosok beliau. Kondisi di tiong-ting tidak jauh berbeda dengan di rumah sakit maupun sepanjang jalan, setibanya jenazah di ruang krematorium sudah ditunggu oleh para pelayat yang tidak sempat ikut prosesi upacara di RS Panti Kosala. Dan KRMT Sanyoto atas nama Sri Mangkunegoro VIII memimpin langsung upacara perabuan, RMNg Suratto yang membawa Panyung Kebesaran Bupati Sepuh dari Mangkunegaran memimpin punggawa-punggawa untuk memikul peti jenazah dr. Oen Boen Ing untuk diperabukan.
Prosesi perabuan memakan waktu kira-kira tiga jam, dan pada sore harinya (Jumat sore) abu hasil krematorium itu “Ditipkan” di RS Panti Kosala, akan tetapi kapan “labuhan” dilaksanakan belum ada keputusan. Meurut data yang kredibel, abu dr Oen, akan dilabuh dibawah monumen dr Oen Boen Ing yang akan dibangun di depan RS Panti Kosala. Keterangan seorang pengurus Yayasan RS Panti Kosala mengatakan bahwa rumah sakit yang dijadikan lokasi pengabdian dr Oen Boen Ing demi kemanusiaan dimasa hidupnya, diganti nama menjadi Rumah Sakit dokter Obi Darmohusodo. “satu permintaan yang sederhana dan tidak berlebihan, dibandingkan tenaga, pikiran, dan harta yang diberikan dari sosok dokter sosiawan Oen Boen Ing yang kini telah tiada”.
53 Pusaka Peninggalan Dr Oen Koleksi yang Tiada Duanya
Selepas kepergian dr Oen, pihak kelurga dengan iklas menitipkan sebanyak 53 pusaka koleksi milik almarhum Kanjeng Raden Tumenggung Obi Darmohusodo atau dr Oen dan diterima langsung oleh putra mahkota Mangkunegaoro VIII di Pendopo Pracimayasa Puro Mangkunegaran pada tanggal 3 Maret.
Diawali dengan penandatanganan penyerahan oleh keluarga diwakili Ny Lenny Rahardjo dengan GPH Djiwokusumo, dan dilanjutkan pemeriksaan barang yang diserahkan antara lain tombak, anak panah, keris, golok dan pedang. Alasan pusaka tersebut disimpan di Mangkunegaran supaya terawat dengan baik dan bisa diperlihatkan kepada wisatawan bahwa inilah hasil koleksi almarhum yang jarang diketahui orang umum. Dan bagi Mangkunegaran dengan diserahkan pusaka tersebut merupakan sumbangan yang cukup besar, karena merupakan hasil dari kebudayaan di Jawa dan diharapkan tidak hanya orang jawa yang memelihara tetapi semua element masyarakat.
Dr Oen ketika mendapatkan penghargaan. Foto by wikipedia |
Memaknai “ Isi” dari Benda Pusaka Tersebut
Raden Mas Ngabehi Satrio menjelsakan dari ke 53 benda pusaka tersebut hanya tinggal 10 saja yang ber “isi” ini disebabkan tidak terawat dan tidak diberi “makan” sepeninggal almarhum. Maksud dari kata “isi” disini adalah senjata-senjata tersebut pernah digunakan dalam pertempuran dan memakan korban, baik dalam peperangan maupun berburu tidak dijelaskan. Selain itu juga pernah digunakan sebagai sarana pengobatan maupun pertahanan dan pengamanan dari bahaya. Sehingga supaya terjaga “keampuhanya” dan tak hilang “isi”nya, barang-barang atau pusaka tersebut setelah dimandikan diberi “makan” berupa sesaji, dan akan disimpan di ruang kyai khusus untuk penyimpanan benda-benda pusaka di museum Mangkunegaran, disandingkan dengan pusaka-pusaka yang sudah sejak dulu ada.
Angka tiga punya makna penting
Peringatan 100 tahun Dr Oen Boen Ing, sekaligus peringatan 70 tahun yayasan panti kosala / RS Dr Oen Kandang Sapi Jebres Surakarta |
Sebagai dokter, Oen Boen Ing terkenal tidak membeda-bedakan pasiennya, apapun juga kelompok etnis, suku, agama, dan kelas sosialnya. Bahkan pasien dibiarkannya mengisi ataupun tidak mengisi kotak uang yang terletak di ruang praktiknya secara suka rela. "Tugas seorang dokter adalah menolong," demikian semboyan kehidupan dan pelayanan Dr. Oen. Selain itu, Dr. Oen selalu membuka praktiknya sejak pk. 3.00 dini hari. Menurut mitos di masyarakat hal ini dihubungkan dengan hari kelahirannya, 3 Maret 1903. "Maka semua karya saya sebaiknya dimulai dengan angka 3,". Angka tiga memang menjadi ciri kehidupan Dr. Oen Boen Ing. Nomor telepon di rumahnya 3333. Bangunan pertama di Rumah Sakit Kandang Sapi yang didirikannya, dinamai Triganda, dan diresmikan pada 3 Maret 1963.
Ketika Dr. Oen meninggal dunia pada 1982, masyarakat Solo dan sekitarnya, baik orang kurang mampu hingga kecukupan sungguh merasakan kehilangan yang besar. Hal ini tampak dari kehadiran ribuan rakyat kecil kepadanya yang berdiri di tepi jalan untuk memberikan penghormatan mereka yang terakhir kepada orang yang telah berjasa memberikan kehidupan yang lebih sehat kepada mereka di tengah-tengah keberadaan mereka yang serba kekurangan.
Kalimat yang sering diucapkan beliau ketika memberikan pengobatan kepada masyarakt “Isa bayar ya bayara sak duwemu pira, ora duwe ora mbayar ya ora apa-apa. Aku ora njaluk dibayar”. Oen Boen Ing Darmohusodo. Bahkan, beliau juga membayarkan harga obat yang diberikan kepada pasienya.
Sumber : Biografi Oen born ing