PENGABDIAN DOKTER-DOKTER TIONGHOA DI LOMBOK
Di penghujung bulan Oktober 1982 itu, berbagai tepi jalan di Kota Solo dipadati lautan manusia. Ada yang terasa tak biasa di hari itu. Massa sudah menyemut sedari pagi.
Mereka hanya ingin mengantar orang yang dikasihi sekaligus dihormati ke peristirahatannya yang terakhir. Bukan. Bukan seorang pejabat yang wafat, namun hanya seorang dokter Tionghoa yang semasa hidupnya begitu bersahaja.
Sekalipun almarhum hanya seorang Tionghoa, namun pelepasannya dilakukan dengan upacara adat kebesaran Pura Mangkunegaran. Yang bertindak sebagai inspektur upacara adalah Sri Paduka Mangkunegoro VIII. Sementara Wali Kota Solo, Sukatmo Prawiro Hadisoebroto, turut memberikan sambutan.
Saat mengheningkan cipta, alih-alih senyap, momen keheningan itu justru dibelah oleh suara isak-tangis dari peserta upacara. Mulai dari satu dua orang, lantas menjalar ke yang lainnya.
Begitu pula ketika para abdi dalem mengusung jenazah menuju Krematorium Tiong Ting.
Ribuan rakyat jelata Solo, seperti tukang becak, pedagang pasar, tukang parkir, hingga bakul batik, menitikkan air mata sambil melambaikan tangan saat iringan jenasah melewati jalan protokol Slamet Riyadi.
Abunya kemudian dilarung di Sungai Bengawan Solo, sesuai dengan pesan terakhirnya. Ribuan massa mengiringi dari belakang dengan berjalan kaki dan mengendarai motor.
Orang Solo menganggap Oen Boen Ing, atau lebih dikenal sebagai dokter Oen, adalah pahlawan mereka. Dan mereka menangis menyaksikan pahlawannya pergi, meninggalkan kenangan akan kemurahan hatinya sebagai manusia. Seorang dokter yang menghargai kemanusiaan.
Biasanya, saat orang tengah tertidur lelap, dokter Oen sudah bersiap menyambut pasiennya. Pada pukul tiga dini hari, puluhan orang sudah antri dengan rapi di kliniknya yang sederhana. Mereka yang antri adalah tukang becak, tukang parkir, pedagang asongan, kuli angkut, dan berbagai jenis masyarakat kecil lainnya. Ya, dokter Oen memang rutin memulai prakteknya pukul 3 pagi.
Mereka yang datang berobat, sebagian besar datang tanpa membawa uang. Kalaupun membawa, jumlahnya mungkin tak memadai, Namun mereka tahu, dokter Oen tak akan mengusir mereka.
Tak hanya di masa tenang, di kala perang kemerdekaan pun dokter Oen mengabdi. Ketika pasukan Slamet Riyadi bertarung melawan tentara NICA, tanpa memperdulikan desingan peluru, dengan membawa obat dan peralatan bedah seadanya, ia menolong pasukan yang terluka. Para pejuang di garis depan sangat menghormati dokter Oen.
Tak hanya itu, ia juga menyelundupkan penisilin untuk Jenderal Soedirman yang tengah bergerilya. Saat itu jumlahnya sangat terbatas dan sulit sekali mendapatkan obat tersebut. Penisilin berfungsi guna menyambung hidup sang Jenderal yang saat itu mengidap penyakit TBC.
Atas segala pengabdian dan jasa-jasanya, pada 30 Oktober 1976 pemerintah Indonesia menganuegerahkan Satya Lencana Bhakti kepada dokter Tionghoa ini. Tak hanya itu, Pura Mangkunegaran pun menganugerahkan gelar “Kandjeng Raden Mas Toemenggoeng Hario Oen Boen Ing Darmohusodo” kepadanya.
Luar biasa memang pengabdian para dokter Tionghoa ini. Setelah dokter Oen wafat, di Solo hadir pula dokter Lo atau Lo Siauw Ging.
Sama seperti dokter Oen, dokter Lo juga menggratiskan pasiennya. Bahkan ia memberi tanda khusus pada resep agar pasien dapat menebus obat secara gratis, dan pada akhir bulan apotik akan menagih biayanya pada dokter Lo.
Jika di Solo ada RS Dokter Oen, di Yogya ada RS Dokter Yap. Dan tentu masih banyak nama dokter Tionghoa lainnya, hanya kita saja yang abai.
Dokter-dokter Tionghoa ini tak hanya mengabdi di Jawa saja, namun juga di Lombok. Sejak jaman Belanda, sudah banyak dokter-dokter Tionghoa yang mengabdi demi kemanusiaan di Lombok. Tapi itulah, kita tak terlalu memperdulikannya.
Historiografi Indonesia memang sangat jarang mengulas peran orang Tionghoa dalam masa revolusi maupun di bidang sosial. Peran para dokter Tionghoa ini kerap luput dari catatan historiografi, kendati mereka memainkan peran vital dalam pembangunan pelayanan kesehatan masyarakat. Pengabdian mereka bagi kemaslahatan orang banyak, seperti menguap begitu saja tanpa jejak.
Menurut Kokok Irawadi, alumni FH Unair yang pindah ke Lombok dari Makasar pada tahun 1952, di Mataram pada saat itu hanya ada satu dokter Melayu. Yaitu dokter Fanggiday yang berasal dari Timor. Selebihnya dokter Tionghoa dan Belanda.
Keterangan ini setidaknya terkonfirmasi dengan data arsip milik Lombok Heritage Society dan juga pemberitaan koran de Preangerbode edisi 13 September 1955 yang mengabarkan di Lombok pada saat itu hanya ada 4 orang dokter. Satu dokter Jerman di Praya dan satunya dokter Belanda di Mataram. Sisanya adalah dokter Tionghoa, yaitu dokter Sie Tjoan Sioe di Selong dan dokter gigi Tjia.
Dari dokumen Congressional Record milik Library of Congress, tercatat juga nama sejumlah dokter Tionghoa di Lombok dan pulau-pulau lainnya. Laporan ini memang menyebutkan para dokter lokal di berbagai pelosok Indonesia adalah mayoritas orang Tionghoa. Nama-nama ini terekam dalam pidato senator Hubert H. Humprey dari Minnesota di hadapan Senat AS pada kamis 25 Mei 1961.
Dalam pidatonya yang berjudul sama, Senator Humprey mengutip pemberitaan dari Minneapolis Tribune edisi 14 Mei 1961 yang berjudul Hope’s Cargo Is Medical Aid – City Doctor Describes Indonesia Voyage. Ini mengisahkan misi persahabatan kapal pemerintah AS yang difungsikan sebagai rumah sakit terapung untuk membantu masyarakat Indonesia.
Perjalanan yang dilakukan Kapal SS HOPE, singkatan dari Health Opportunity for People Everyvhere, mengunjungi berbagai tempat di Indonesia. Mirip seperti Rumah Sakit Terapung milik dokter Tionghoa, Lie Tek Bie, atau lebih dikenal sebagai dokter Lie Dharmawan yang karam di perairan NTB pada 16 Juni 2021 lalu.
Biasanya, selama 2 minggu HOPE berlabuh di sebuah daerah, dan berbagai program kesehatan terintegrasi dilakukan, baik di atas kapal maupun di klinik-klinik di daratan. Dari laboratorium, rontgen, operasi bedah, hingga penanganan yang membutuhkan peralatan modern di lakukan di atas kapal. Semua layanan dilakukan secara gratis.
Setelah dari kepulauan NTT, HOPE tiba di Bima pada 5 April 1961. Semua pelayanan kesehatan di Bima tertata dengan rapi berkat pengabdian dokter Tan Hong Djwan yang energik. Berbagai kegiatan pun dijalankan dengan lancar.
Setelah dari Bima, HOPE berlabuh di pelabuhan Ampenan. Di sini, mereka disambut oleh tiga orang dokter. Yaitu dokter Azrin yang merupakan kepala dinas kesehatan, dokter wanita A Teng Hway Nio yang merupakan wakil kepala dinas kesehatan, dan dokter Liem Sik Lok yang merupakan kepala Rumah Sakit Mataram.
Jumlah pasien yang harus ditangani berlimpah dari seluruh pelosok Lombok. Semula hanya 143 pasien yang terdaftar. Namun faktanya, pada minggu berikutnya, seluruh fasilitas yang disediakan tak sanggup lagi menampung. Setiap hari sedikitnya 15 operasi bedah dilakukan. Laporan ini memuji A Teng Hway Nio sebagai dokter wanita yang sangat efisien dan cekatan.
Selain sebagai kepala Rumah Sakit Mataram, dokter Liem Sik Lok, bersama dengan Ho King Tik, juga tercatat sebagai tokoh pendiri Universitas Mataram. Artinya, dokter Liem juga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan bersama tokoh-tokoh lainnya di Mataram.
Berdasarkan catatan arsip, dokter Lim Sik Lok merupakan alumni Universitas Airlangga yang tamat pada 19 Maret 1960. Sementara dokter A Teng Hway Nio juga dari almamater yang sama dan lulus pada 20 Desember 1958.
Dokter Liem sangat populer karena pengabdiannya yang tidak membedakan strata sosial seseorang. Semua dilayani dengan sama baiknya. Sebagai kepala, ia tinggal di sebelah barat Rumah Sakit Mataram. Istri Dokter Liem juga seorang dokter gigi.
Setelah dokter Liem pindah, datang dokter polisi Lo Bian Hwat. Dokter Lo juga sangat populer karena jiwa sosialnya. Tak hanya dokter kepolisian, dokter angkatan darat pun ada, yakni dokter Ang.
Selain istri dari dokter Liem Sik Lok, dokter gigi lainya yang lebih dahulu bertugas di Lombok adalah Drg. Tjia. Ketika Drg. Tjia pindah, ia digantikan oleh Drg. Han.
Para dokter-dokter ini dahulu bertempat tinggal di jalan protokol. Dari lapangan Mataram ke barat, merupakan tempat tinggal mereka.
Orang Tionghoa kelahiran Lombok juga banyak yang menjadi dokter. Sebut saja pengusaha bus Sampurna, Ang Lian Pek, yang ketiga orang puteranya menjadi dokter. Yaitu Ang Bun Pao, mantan kepala rumah sakit dan kepala dinas kesehatan Lombok Tengah; Ang Bun Pin, mantan dokter polisi; dan Ang Bun Min mantan dokter di rumah sakit Mataram.
Putri tertuanya, Ang Giok San yang merupakan sarjana hukum, menikah dengan dokter Lie Khing Yam yang juga bertugas di Lombok pada awal tahun 70-an. Dokter Lie Khing Yam ini di Mataram lebih dikenal sebagai dokter Widjaja. Sebagai seorang dokter, tutur katanya halus dan dengan senang hati sambil menenteng tas kulitnya yang berisi peralatan serta obat-obatan, mendatangi rumah pasien yang membutuhkan pertolongan.
Selain nama-nama itu, masih banyak dokter Tionghoa lainnya yang mengabdi di Lombok di era lalu, seperti dokter Tan Han Liang, Go Tjai Lok di rumah sakit Karang Ujung Ampenan. Politik Etis yang diperkenalkan pada tahun 1901 memang turut berperan dalam melahirkan berbagai institusi kesehatan di daerah dan tentu saja mendorong orang jadi dokter, termasuk di Lombok.
Hadirnya organisasi Tiong Hwa Hwee Koan pada 17 Maret 1900 mendorong bermunculannya kaum terpelajar Tionghoa, yang tak lagi sekedar berkutat di urusan dagang. Kaum intelektual Tionghoa inilah yang kelak memegang peranan kunci dalam membangun sektor kesehatan di Hindia Belanda.
Hal ini juga seiring dengan perubahan singkatan huruf ‘I’ pada pendidikan dokter STOVIA di Batavia dari Inlandsche menjadi Indische dan munculnya NIAS di Surabaya pada 1913 yang memungkinkan orang dari berbagai ragam etnis di Hindia Belanda untuk kuliah disana. Keduanya membuat munculnya para dokter baru dari kalangan Tionghoa.
Sebagai catatan, awalnya STOVIA bernama Dokter Djawa School atau Sekolah Dokter Djawa dengan masa pendidikan 3 tahun. Sesuai namanya, memang khusus untuk priayi Jawa. Lulusannya disebut sebagai Doker Djawa.
Para Dokter Djawa inilah yang pada awal 1900-an mulai ditempatkan di Lombok secara bergantian, seperti Dr. RM Soedjono, Dr. RM Abdulkadir dan lain sebagainya. Tujuannya untuk menghadang wabah.
Lalu pada 1898 sekolah ini ditingkatkan dan diperluas menjadi STOVIA dengan ‘I’ sebagai Inlandsche, sehingga yang bisa bersekolah hanya pribumi saja. Baru pada 1913 menjadi Indische sehingga orang Eropa, Arab, Tionghoa dan lain-lain bisa kuliah disana.
Kelak School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) berubah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sementara Nederlandsche Indische Artsen School (NIAS) menjelma menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
Para dokter Tionghoa ini lahir dan sekolah di bumi pertiwi. Tidak bisa berbahasa Tionghoa. Dan juga memiliki kewarganegaraan Indonesia. Maka negeri ini lah satu-satunya tumpah darah mereka, tempat mereka mengabdi bagi kemanusiaan dengan segenap hati.
Menurut Prof. Charles Coppel dari University of Melbourne, dalam kuliah bertajuk ‘Normalising Chinese Indonesians’ yang diselenggarakan dalam rangka Herb Feith Memorial Lecture 2017 di Monash University, Australia, mengatakan bahwa WNI etnis Tionghoa bisa lebih Indonesia dibanding yang lain. Berbagai argumen ilmiah menjadi landasan premisnya ini. Setidaknya di berbagai bidang olah raga hal tersebut telah ditunjukkan.
Mungkin karena itu pula mantan Presiden RI, Gus Dur, tak ragu memproklamirkan diri sebagai Tionghoa tulen, namun sudah bercampur dengan berbagai macam unsur lainnya. Faktanya memang demikian.
Jangan salah. Menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, dalam buku Menguak Misteri Sejarah, yang berperan mempopulerkan nama ‘Indonesia’ adalah koran etnis Tionghoa bernama Sin Po. Selain itu, koran ini juga yang menghapus penggunaan kata ‘inlander’ yang dianggap sebagai penghinaan terhadap rakyat Indonesia.
Kebhinekaan itu memang indah. Dan bermuara pada satu nasionalisme yang sama.