GURU BANGKOL SOSOK KEARIFAN DI MASA LALU


Salah satu corak yang menonjol dalam penyebaran Islam di Lombok  abad 19 dan 20 adalah daya tarik tareqat sebagai medium dakwah. Ini terlihat dari munculnya para Guru dan Tuan Guru yang berkeliling mengajarkan konsep ketuhanan dalam Islam.

Koran Australia yang memuat berita tentang Lombok dan Bali Tahun 1840

                                   -------------------------------------------------------------------------

Kemunculan para cendikiawan ini mampu mengisi ceruk kosong kepemimpinan dalam masyarakat Sasak Muslim di tengah kuasa Kerajaan Mataram yang bercorak Hindu.

Martin van Bruinsen dalam Tareqat Naqsabadiyah di Indonesia (1992) misalnya mengambil contoh bagaimana figur Tuan Guru Haji (TGH)  Ali Batu dari Sakra memimpin pemberontakan warga Sasak Timur melawan Raja Mataram  tahun 1891.

Menurut Martin, kharisma TGH Ali Batu semakin diteguhkan dengan kepercayaan warga akan kemampuan Supranatural sang Tuan Guru. Ini adalah corak umum figur-figur perlawanan berbau “mesianistik” di zaman itu.

Para guru digambarkan sebagai sosok yang telah dijanjikan dalam ramalan masa lalu. Ia diharap datang dengan kedigdayaan  untuk membebaskan warga dari penguasa para tiran.

Di Lombok masa itu selain TGH Ali Batu terdapat sejumlah figur-figur lain yang menjadi panutan warga. Seperti Guru Taseh di Sukaraja, Ampenan, Haji Abdurrahman di Kelayu, Lotim, Haji Mohammad di Montong Tanggak, Haji Usen dan Haji Abdulgafur di Sombek, Loteng, Haji Mohammad Siddiq di Karanganyar dan lainnya.

Namun demikian setelah TGH Ali Batu meninggal dalam peperangan  tersebut, belum ada figur sentral yang mampu menghimpun warga dalam jumlah besar. Namun demikian kepergian Ali Batu  menjadi menjadi trigger yang memicu perlawanan yang lebih besar di tahun-tahun berikutnya.

Guru Bangkol dan Perlawanan Praya

Kepala Distrik Praya Guru Bangkol (Mamiq Ismail )dalam Buku Naar Lombok karangan Dr CJ Neeb dan Abeek Brusse tahun 1897.


Perlawanan TGH Ali Batu tak terlepas memburuknya hubungan Raja di Mataram dengan masyarakat Loteng dan Lotim. Tampilnya Anak Agung Made, putra tertua dari Raja Anak Agung Gde Ngurah dalam mengatur pemerintahan menjadi pangkal persoalan. Sosok nya yang keras terlihat kontras dengan sang ayah yang terkenal dekat dengan rakyatnya yang sebagian besar Muslim.

I Gede Parimartha dalam Lombok Abad XIX menyebut salah satu langkah besar Made dengan menyingkirkan Said Abdullah dari lingkaran Istana. Said Abdullah sendiri merupakan seorang keturunan Arab, penasehat Raja sekaligus  Sahbandar Pelabuhan Ampenan.

Dalam hal yang lebih dekat lagi Abdullah juga guru bagi beberapa pangeran yang lahir dari istri raja yang beragama Islam. Ini kemudian terlihat dari kedekatan Said Abdullah dengan keluarga putra mahkota Anak Agung Ketut.

Namun, sejumlah kasus diajukan Made untuk menjegal Abdullah. Selain persoalan hutang, kabar keberpihakan Said pada masyarakat Sasak Timur yang tengah melakukan perlawanan membuatnya terusir dari Istana. Bahkan kelak ia dijatuhkan hukuman mati atas tuduhan pengkhianatan pada kerajaan.

Kabar hukuman mati Said Abdullah segera membakar semangat perlawanan masyarakat di Timur Juring.  Selama ini Abdullah dianggap merupakan jembatan penghubung warga Timur Juring dengan Istana.

Sementara di Praya, kabar ini seolah menjadi penambah bara api dendam yang telah lama tertanam dalam relasi Praya-Mataram. Orang-orang Praya sejak lama menolak dikirim ke Bali untuk membantu Mataram berperang melawan sejumlah kerajaan di Bali.

Terakhir penolakan terjadi ketika Raja meminta orang-orang dari Praya ikut berperang melawan Kelungkung pada Juni dan Agustus  1891. Orang-orang Praya menolak bertempur untuk sesuatu yang tak ada sangkut paut dengan dirinya. Alih-alih membantu Mataram, penolakan ini berujung ke permusuhan.

Ketegangan semakin meningkat menyusul kebijakan kerajaan yang mencabut hak Otonomi Praya terhadap lahan-lahan garapan. Praya kini harus membayar pajak sebagaimana daerah lainnya.

Padahal sejak abad sebelumnya, Praya dan Batukliang merupakan sekutu terdekat Dinasti Karangasem Mataram. Mereka turut membantu memuluskan ambisi Mataram menaklukkan kerajaan-kerajaan di Lombok dan Bali.

Inilah yang membuat Praya mendapat hak istimewa. Mereka dapat mengelola seluruh lahan tanpa harus membayar pajak seperti daerah lainnya. Mereka hanya berkewajiban apati getih yakni ikut membela kerajaan jika berperang.

Sejumlah tokoh masyarakat Lombok bagian timur yang cukup menonjol dalam Perang Lombok 1894. Dari kiri ke kanan Raden Widana dari Jonggat, Mamiq Mustiaji dari Kopang, Mamiq Sapian dari Praya, Mamiq Ginawang dari Batukliang. Sebagian besar mereka kemudian diangkat menjadi Kepala Distrik di masing masing wilayah. Foto ini diambil sekitar 1895


Namun hubungan mesra ini beberapa kali mengalami pasang surut. Yang terbesar di tahun 1891. Praya menghimpun dukungan untuk melawan Mataram.

Dalam ketegangan ini sosok Guru Bangkol muncul sebagai pimpinan perlawanan. Alfons van der Kraan dalam Lombok Menaklukkan, Penjajahan dan Keterbelakangan 1870-1940 menyebut Guru Bangkol merupakan tokoh spiritual kharismatik. Ia pemimpin Tareqat Naksabandiyah dengan pengaruh yang luas di Distrik Praya.

Disisi lain sebagai bangsawan, Guru Bangkol juga dekat dengan keluarga istana. Namun hubungan yang sudah terlanjur memanas membuat relasi Praya-Mataram berbuah petaka.

Ia mengecam keras langkah represif yang dilakukan kerajaan terhadap sejumlah pemuka masyarakat Sasak Timur.  7 Agustus 1891 para petani menyambut ajakan Guru Bangkol untuk mengangkat senjata. Lekas ribuan warga bergerak membakar puri Kepala Distrik Bali di Praya.

Perang  meluas. Sehari setelah serangan itu Anak Agung Made datang melakukan balasan bersama sekitar 3000 pasukan dari Lombok Barat. Ini belum termasuk ribuan warga dari Loteng dan Lotim  yang diwajibkan ikut serta menyerbu  Praya. 11 Agustus Praya terkepung. Namun gigihnya perlawanan membuat Guru Bangkol dan para pengikutnya sulit dikalahkan.

Kukuhnya pertahanan Praya membuat psikologis warga yang diminta membantu Mataram menyerbu Praya goyah. Loyalitas mereka menurun. Mereka justru bersimpati pada warga Praya yang terdesak. Inilah yang membuat Anak Agung Made gagal melakukan serbuan lanjutan. 

25 Agustus, Anak Agung Ketut, Putra Mahkota Kerajaan datang membantu bersama ribuan prajurit. Hingga 28 Agustus, Praya kini dikepung oleh 20 ribu prajurit.

Serbuan yang  berlanjut hingga jantung Distrik Praya membuat korban terus  berjatuhan. Namun sekali lagi pasukan gabungan itu tak mampu menundukkan kegigihan Guru Bangkol dan pengikutnya.

Kegagalan ini semakin diperburuk dengan membelotnya warga Sasak yang sebelumnya ditugaskan membantu kerajaan dalam peperangan. Mereka menyambut seruan  untuk membebaskan Praya dari kepungan.

Martin van Bruinssen menyebut kharisma para guru tareqat berperan membalikkan dukungan warga kepada rakyat Praya.

Perang makin meluas, pasukan Mataram kini dipukul mundur oleh gelombang serangan yang datang dari berbagai penjuru.  Agung Made dan Ketut beserta pasukannya mundur dalam kekalahan. 22 September 1891 kekuasaan Karang Asem atas Lombok Tengah dan Lombok Timur runtuh.

Dalam 471 baitnya, Babad Praya mengabadikan musabab pemberontakan serta kisah heroik Guru Bangkol dan pengikutnya mempertahankan Praya. Kisah serupa juga tergambar jelas dalam untaian Babad Sakra.

Sementara itu kekalahan dua pangeran Mataram  dalam  memadamkan pemberontakan Praya  membuat Raja Anak Agung Gede Ngurah turun tangan. Ia mengatur ulang pasukan dan meminta tambahan bala bantuan dari Karangasem, Bali.  Peperangan meletus korban dari kedua belah pihak terus berjatuhan. Namun Praya tak kunjung tumbang.

Selain perang upaya diplomasi juga dilakukan Raja.   Ia mendekati para pemimpin Sasak Timur untuk melakukan perdamaian. Bahkan sekitar April 1892 ia mengirimkan sepucuk surat perundingan perdamaian untuk Guru Bangkol bersama uang tunai sebesar 1000 rijskdaalder.  Guru bangkol  menolak surat Raja namun menerima kiriman uang.

Uang tersebut diterima dan dianggap sebagai bagian dari ganti rugi dari apa yang telah diambil kerajaan dari Praya. Atas penolakan ini Raja melanjutkan serangan. Sayang, meluasnya perlawanan membuat kerajaan tak bisa merebut kembali wilayah yang pernah mereka kuasai di Lotim dan Loteng.

Selain itu konsentrasi Mataram terpecah oleh munculnya perlawanan lain di Sekarbela pada Juli 1893. Pengiriman besar-besaran warga Mataram untuk berperang ke Timur Juring telah menimbulkan kekecewaan pada kerajaan.

Stabilitas politik kacau bersamaan dengan meluasnya kelaparan. Perang berlarut-larut membuat sawah dan ladang tak tergarap. Warga sibuk berperang dan menyelamatkan diri. Sementara itu sepeninggal Mataram, tokoh-tokoh lokal di Lotim dan Loteng tak kunjung mampu mengembalikan kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

Di tengah kemerosotan  ini, Belanda datang melihat kesempatan. Hasrat untuk menguasai Bali-Lombok terbuka. Mereka membangun hubungan dengan masyarakat Sasak Timur  dan menawarkan bantuan pangan dan militer. Gayung bersambut, sejumlah tokoh Sasak Timur mengirimkan surat agar Batavia melakukan intervensi.

Sejumlah prajurit Belanda yang datang ke Lombok dalam serangan tahun 1894.

Belanda mulai masuk dengan memangkas suplai bantuan prajurit dan persenjataan Kerajaan Mataram dari luar. Koran Harlem’s Dagblad edisi 23 Juni 1892 menyebut Belanda mencegat dan menahan  Kapal Perang Sri Metaram milik Raja Mataram pada 14 Mei 1892. Selain itu Belanda juga menahan Captain Bruce, pelaut Inggris yang mengawaki Sri Metaram.

Sri Metaram dan Sri Tjakra merupakan dua kapal perang yang baru saja dibeli Raja Mataram dari Singapura lengkap dengan amunisi dan persenjataan. Dua kapal ini sengaja didatangkan menyusul memburuknya kondisi internal kerajaan dan ancaman dari Belanda yang semakin kuat. Namun apa lacur, belum sempat bertempur dua kapal ini ditahan Belanda.

Selain itu, Belanda kemudian  melakukan embargo dengan memeriksa semua kapal yang hendak masuk ke Selat Lombok. Mereka juga berupaya mencegah seluruh kapal yang membawa bala bantuan untuk Raja Lombok.

Puncak dari intervensi Belanda ini terjadi 5 Juli 1894, iring-iringan kapal dengan ribuan prajurit bersenjata modern tiba di Ampenan. Perang besar itu berlangsung hingga beberapa bulan kemudian. Sejarah kemudian mencatat inilah tahun akhir kekuasaan Kerajaan Karangasem-Lombok.

Belanda menang dan mengatur ulang seluruh wilayah. 27 April 1895 Residen Dannenbargh bersama asisten dan Kontroler menggelar pertemuan untuk penataan administrasi pemerintahan.

Para tokoh yang membantu Belanda memenangkan perang mendapatkan jabatan. Termasuk dua tokoh Perang Praya yakni Guru Bangkol dan Mamiq Sapian  diangkat sebagai pemimpin Distrik Praya.

Adapun Pringgabaya dipimpin Raden Wiranom, Rarang oleh Raden Satriaji, Masbagik oleh Raden Melayu Kusuma, Sakra di bawah Mamiq Kertawang, Batukliang Mamiq Ginawang, Kopang mamiq Mustiaji dan Jonggat di bawah raden Widana.

Perang memang berhasil dimenangkan, namun nasib para petani dan masyarakat golongan  rendah lainnya nyaris tak berubah. Setelah Mataram tumbang mereka  menjadi objek penghisapan oleh kekuasaan yang jauh lebih besar. Belanda dan kaki tangannya.



Post a Comment

Previous Post Next Post